DonkeyMails.com: No Minimum Payout
Join Vinefire!

Selamat Bergabung di INDONESIA MANDIRI

Berat????,,, memang di situlah letak nya perjuangan demi kemajuan kita barsama.
Kalau saja Bung Karno dengan kesederhanaan gaya hidup Rakyat Indonesia ketika itu berani memperjuangkan, dan bahkan beliau sangat kenyang keluar masuk Penjara - kami yakin kita tidak akan seperti itu, namun tetap memerlukan Pemikiran significant, bila tidak maka DEKOLONIALISASI gaya baru akan sangat tidak terasa apabila anda tidak bergerak darisekaran.

Senin, 19 Oktober 2009

Jahiliyahnya Aku Dan Bangsaku

Gempa, tsunami, lumpur panas, apalagi yang akan menimpa bangsa ini ? Dan seakan peringatan tersebut hanya angin lalu. Kaget sejenak, tapi kembali meneruskan kebiasaan dan prilaku jahiliyah kita. Mulai dari pejabat tinggi, rakyat kecil, pria, wanita, kaya, miskin. Dan semua itu seakan sudah biasa, sudah dimaklumi, tidak menjadi beban pikiran kita.

Yang jabatannya tinggi korupsi sudah biasa, kolusi biasa saja, nepotisme apalagi, khan sesama saudara atau kerabat harus saling menolong.

Yang jabatannya menengah, kalau menyuap atau terima suap, biasa aja, biar urusannya cepat. Korupsi kecil-kecilan, bolehlah asal dalam batas kewajaran dan bagi-bagi.

Yang rakyat kecil, meracuni orang pakai formalin atau zat pewarna tidak apa-apa, biar keuntungan agak meningkat, khan konsumennya nggak tau ini.

Yang menuntut keadilan, kalau punya uang, suap sana suap sini wajar-wajar saja, biar menang di pengadilan.

Yang dituntut, juga wajar kalau suap sana suap sini biar menang juga.

Yang mengadili, terima suap dari sana dari sini biar penghasilannya nambah sedikit, wajar khan ?

Yang jadi pengacara pintar ngomong kelit sana sini pake argumen hukum positif, yang penting menang.

Yang ditangkap pihak berwajib, suap sana suap sini biar nggak diproses hukum.

Yang menangkap, terima suap dari sana sini untuk nambah biaya operasional, soalnya dana operasional sudah dipotong sana sini.

Yang demo menuntut keadilan bagi dirinya, berbuat tidak adil dengan menutup jalan raya, merusak sarana umum atau properti milik orang lain.

Yang demo menuntut demokrasi, secara tidak demokratis memaksa pihak lain mengikuti kehendaknya.

Yang jadi calon kepala daerah, obral janji sana sini, obral duit sana sini. Tidak apa-apa keluar biaya, kan nanti BEP-nya cepat kalau menang.

Yang jadi pendukung maksa orang lain untuk ikut mendukung. Padahal dia cuma dibayar untuk jadi pendukung. Dia tau nggak sih, seandainya yang dia dukung menang, kalau dia tadinya tukang ojek, ya tetep aja jadi tukang ojek.

Yang modalnya kuat menggusur pasar tradisional untuk dibikin mall.

Yang modalnya lemah buka lapak dijalanan, tidak peduli jalanan jadi macet, kotor dan menggangu hak para pemakai jalan. Kalau ada tramtib kita lawan, sebab hak kita untuk berdagang mau diambil.

Yang mobilnya mewah atau cc besar kalau dijalan tol harus di kanan, tidak boleh ada yang menghalangi, jadi kalau ada mobil lain di depan ambil kanan sebentar, mau nyusul kendaraan lain, harus di kasih lampu beam dengan gencar, atau diintimidasi dengan memepetkan diri dibelakangnya tinggal jarak sejengkal. Soalnya ngelunjak, mobil murahan aja mau jalan di kanan, menghalangi mobil gue yang super cepat. Kalau tolnya padat, ya tidak apa-apa toh, ngambil bahu jalan, semua orang udah pada maklum.

Yang mobilnya biasa atau sudah reyot jalan santai di sisi kanan tol.

Dijalan bukan tol, sodok-sodokan adu berani sudah jadi pemandangan umum. Apalagi kalau kendaraannya besar. Mana ada yang berani sama gue yang lagi bawa bis kota ? Jadi kalau potong ke kiri atau ke kanan, mobil atau motor yang kecil–kecil itu harus minggir dong kalau nggak mau kelindas. Lagipula gue butuh ngejar setoran, jadi kalau jalannya ngebut ya harus dimaklumi dong. Dimanapun ada calon penumpang, gue harus berhenti, walaupun ditengah jalan.

Yang bawa angkot ngetem atau ngambil penumpang ditengah jalan. Kalau jalanan lagi macet, ya gue ambil jalur lawan, terus gue kebut, bodo amat jalanan dibelakang jadi tambah macet, yang penting gue udah didepan.

Yang naik mobil pribadi, tidak boleh ada yang nyalip atau minta jalan. Harus gue kejar, gue tambah kecepatan gue, biar dia nggak seenaknya aja. Tapi kalau gue nyalip atau minta jalan, kendaraan lain harus ngasih jalan dong, jadi gue sodok aja mobil gue ke depan.

Yang naik motor, yang penting gue kan udah pakai helm. Jadi ya nggak apa-apa dong kalau gue nerobos lampu merah, naik trotoar, potong sana potong sini. Kalau gue lagi nggeber gas, mobil atau motor lain harus minggir, jangan menghalangi. Apalagi orang nyeberang, jangan sampai dah mengganggu jalan gue, gue tidak akan mengurangi kecepatan motor gue, jadi tu orang yang mau nyeberang harus lari kalau nggak mau keserempet.

Yang jalan kaki, nyeberang jalan di bawah jembatan penyeberangan.

Yang jadi bankir terima imbalan waktu ngasih kredit.

Yang jadi debitur ngasih angpau ke bankir biar kreditnya disetujui.

Yang jadi auditor terima suap biar temuan kasus bisa didrop.

Yang jadi auditee kasih suap biar kasusnya bisa ditutup.

Yang meriksa pajak terima uang untuk menurunkan jumlah pajak wajib pajak.

Yang wajib bayar pajak ngasih uang ke pemeriksa pajak biar jumlah pajaknya turun.

Yang nulis ini kelakuannya ya kayak kalimat-kalimat di atas.

Yang mbaca tulisan ini, mudah-mudahan tidak seperti itu ya ?


Pisss

Jahiliyahnya Aku Dan Bangsaku

Gempa, tsunami, lumpur panas, apalagi yang akan menimpa bangsa ini ? Dan seakan peringatan tersebut hanya angin lalu. Kaget sejenak, tapi kembali meneruskan kebiasaan dan prilaku jahiliyah kita. Mulai dari pejabat tinggi, rakyat kecil, pria, wanita, kaya, miskin. Dan semua itu seakan sudah biasa, sudah dimaklumi, tidak menjadi beban pikiran kita.

Yang jabatannya tinggi korupsi sudah biasa, kolusi biasa saja, nepotisme apalagi, khan sesama saudara atau kerabat harus saling menolong.

Yang jabatannya menengah, kalau menyuap atau terima suap, biasa aja, biar urusannya cepat. Korupsi kecil-kecilan, bolehlah asal dalam batas kewajaran dan bagi-bagi.

Yang rakyat kecil, meracuni orang pakai formalin atau zat pewarna tidak apa-apa, biar keuntungan agak meningkat, khan konsumennya nggak tau ini.

Yang menuntut keadilan, kalau punya uang, suap sana suap sini wajar-wajar saja, biar menang di pengadilan.

Yang dituntut, juga wajar kalau suap sana suap sini biar menang juga.

Yang mengadili, terima suap dari sana dari sini biar penghasilannya nambah sedikit, wajar khan ?

Yang jadi pengacara pintar ngomong kelit sana sini pake argumen hukum positif, yang penting menang.

Yang ditangkap pihak berwajib, suap sana suap sini biar nggak diproses hukum.

Yang menangkap, terima suap dari sana sini untuk nambah biaya operasional, soalnya dana operasional sudah dipotong sana sini.

Yang demo menuntut keadilan bagi dirinya, berbuat tidak adil dengan menutup jalan raya, merusak sarana umum atau properti milik orang lain.

Yang demo menuntut demokrasi, secara tidak demokratis memaksa pihak lain mengikuti kehendaknya.

Yang jadi calon kepala daerah, obral janji sana sini, obral duit sana sini. Tidak apa-apa keluar biaya, kan nanti BEP-nya cepat kalau menang.

Yang jadi pendukung maksa orang lain untuk ikut mendukung. Padahal dia cuma dibayar untuk jadi pendukung. Dia tau nggak sih, seandainya yang dia dukung menang, kalau dia tadinya tukang ojek, ya tetep aja jadi tukang ojek.

Yang modalnya kuat menggusur pasar tradisional untuk dibikin mall.

Yang modalnya lemah buka lapak dijalanan, tidak peduli jalanan jadi macet, kotor dan menggangu hak para pemakai jalan. Kalau ada tramtib kita lawan, sebab hak kita untuk berdagang mau diambil.

Yang mobilnya mewah atau cc besar kalau dijalan tol harus di kanan, tidak boleh ada yang menghalangi, jadi kalau ada mobil lain di depan ambil kanan sebentar, mau nyusul kendaraan lain, harus di kasih lampu beam dengan gencar, atau diintimidasi dengan memepetkan diri dibelakangnya tinggal jarak sejengkal. Soalnya ngelunjak, mobil murahan aja mau jalan di kanan, menghalangi mobil gue yang super cepat. Kalau tolnya padat, ya tidak apa-apa toh, ngambil bahu jalan, semua orang udah pada maklum.

Yang mobilnya biasa atau sudah reyot jalan santai di sisi kanan tol.

Dijalan bukan tol, sodok-sodokan adu berani sudah jadi pemandangan umum. Apalagi kalau kendaraannya besar. Mana ada yang berani sama gue yang lagi bawa bis kota ? Jadi kalau potong ke kiri atau ke kanan, mobil atau motor yang kecil–kecil itu harus minggir dong kalau nggak mau kelindas. Lagipula gue butuh ngejar setoran, jadi kalau jalannya ngebut ya harus dimaklumi dong. Dimanapun ada calon penumpang, gue harus berhenti, walaupun ditengah jalan.

Yang bawa angkot ngetem atau ngambil penumpang ditengah jalan. Kalau jalanan lagi macet, ya gue ambil jalur lawan, terus gue kebut, bodo amat jalanan dibelakang jadi tambah macet, yang penting gue udah didepan.

Yang naik mobil pribadi, tidak boleh ada yang nyalip atau minta jalan. Harus gue kejar, gue tambah kecepatan gue, biar dia nggak seenaknya aja. Tapi kalau gue nyalip atau minta jalan, kendaraan lain harus ngasih jalan dong, jadi gue sodok aja mobil gue ke depan.

Yang naik motor, yang penting gue kan udah pakai helm. Jadi ya nggak apa-apa dong kalau gue nerobos lampu merah, naik trotoar, potong sana potong sini. Kalau gue lagi nggeber gas, mobil atau motor lain harus minggir, jangan menghalangi. Apalagi orang nyeberang, jangan sampai dah mengganggu jalan gue, gue tidak akan mengurangi kecepatan motor gue, jadi tu orang yang mau nyeberang harus lari kalau nggak mau keserempet.

Yang jalan kaki, nyeberang jalan di bawah jembatan penyeberangan.

Yang jadi bankir terima imbalan waktu ngasih kredit.

Yang jadi debitur ngasih angpau ke bankir biar kreditnya disetujui.

Yang jadi auditor terima suap biar temuan kasus bisa didrop.

Yang jadi auditee kasih suap biar kasusnya bisa ditutup.

Yang meriksa pajak terima uang untuk menurunkan jumlah pajak wajib pajak.

Yang wajib bayar pajak ngasih uang ke pemeriksa pajak biar jumlah pajaknya turun.

Yang nulis ini kelakuannya ya kayak kalimat-kalimat di atas.

Yang mbaca tulisan ini, mudah-mudahan tidak seperti itu ya ?


Pisss

KOMPAS.com

DonkeyMails.com: No Minimum Payout

Foto Kiriman

Foto Kiriman
Mei 1998

di senayan

menunggu keputusan Mei 1998